Hak Akses Bawaslu Terhadap Data Calon Kepala Daerah Dalam Rangka Pengawasan Pemilu

Oleh: Ruhermansyah*)

Pendahuluan

Pemilu, termasuk Pemilihan (Pilkada), merupakan pilar demokrasi yang harus dijaga integritas dan kualitasnya. Untuk memastikan pelaksanaan Pilkada berlangsung secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (demokratice) sebagaimana dicantumkan Undang-Unang Dasar NRI 1945 pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis” serta berintegritas, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diberi mandat oleh undang-undang untuk mengawasi setiap tahapan Pilkada, selain daripada itu pengawasan oleh Bawaslu yang berintegrtias tentu akan menghasilkan Pilkada yang berkualitas, legitmate dikarenakan kepercayaan (trust) peserta pemilihan dan masyarakat sangat tinggi, demikian pula jika sebaliknya penyelenggaraan Pilkada yang tidak demokratis dan beritegrtias, baik penyelenggara pemilu khususnya KPU dan peserta pemilu yang berintegritas, maka hasil pemilu/Pilkada menjadi tidak demokratis dan tidak mendapatkan kepercayaan dari masyarakat.

 

Dari beragam fenomena empirik pelaksanaan pemilu tersebut, isu terkait integritas pemilu mengemuka dan menjadi perhatian banyak pihak (Levin & Alvarez, 2012). Demikian halnya dengan definisidefinisi yang negatif dari integritas pemilu, menggunakan istilah yang beragam pula seperti malpraktek pemilu, pemilu yang manipulatif, pemilu yang penuh dengan pelanggaran , korupsi atau rekayasa. Definisi malpraktek pemilu dari Birch (dikutip dalam Ham, 2015) misalnya, menjelaskan bahwa “the manipulation of electoral processes and outcomes so as to substitute personal or partisan benefit for the public interest”. Dengan menggunakan istilah pelanggaran pemilu (electoral fraud), Lopez-Pintor (dikutip dalam Ham, 2015) menjelaskan, “any purposeful action taken to tamper with electoral activities and election-related materials in order to affect the results of an election, which may interfere with or thwart the will of the voters”. Dengan istilah yang sama, Lehoucq (2003) menyatakan bahwa electoral fraud merupakan “clandestine efforts to shape election results”. Dari beberapa definisi di atas , dapat dikatakan bahwa pemilu yang berintegritas tinggi merupakan pemilu yang memenuhi beragam norma tertentu. Sebaliknya, pemilu yang berintegritas rendah adalah pemilu yang melanggar beragam norma tertentu.

 

Salah satu kewenangan Bawaslu dalam melaksanakan tugas pengawasan adalah meminta data terkait pencalonan dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, dalam praktiknya, muncul persoalan ketika KPU menolak memberikan data dengan alasan bahwa data calon kepala daerah merupakan informasi yang dikecualikan dari akses publik.

 

Artikel ini akan membahas batasan wewenang Bawaslu dalam meminta data calon kepala daerah, dasar hukum yang mendukung wewenang tersebut, dan apakah penolakan KPU dalam memberikan data tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pemilu.

 

Wewenang Bawaslu dalam Pengawasan Pilkada

Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu memiliki kewenangan yang diatur dalam berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam undang-undang ini, secara jelas diatur bahwa Bawaslu memiliki hak dan kewajiban untuk mengawasi seluruh tahapan pemilu, termasuk pengawasan penyelenggaraan Pilkada yang diatur dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, diubah terakhir kali dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 2020. Beberapa ketentuan yang relevan terkait kewenangan Bawaslu antara lain:

 

  • Pasal 93 huruf d ayat (4) Undang-Undang 7 Tahun 2017: Bawaslu bertugas mengawasi seluruh tahapan pemilu, khususnya pengawasan pencalonan.
  • Pasal 94 ayat (1) huruf c Undang-Undang 7 Tahun 2017: Bawaslu bertugas melakukan pencegahan pelanggaran pemilu dan sengketa proses dengan melakukan koordinasi dengan intansi pemerintah lainnya, khususnya dalam hal ini KPU dan jajaranya dalam meminta data/dokumen.
  • Pasal 95 huruf (g) Undang-Undang No. 7 Tahun 2017: Bawaslu berwenang meminta bahan keterangan yang dibutuhhkan kepada pihak terkait dalam rangka pencegatran dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu, dalam hal ini tentu termasuk “meminta keterangan dan/atau dokumen yang berkaitan dengan pelaksanaan tugasnya kepada pihak KPU dan jajarannya”.
  • Pasal 94 huruf b ayat (3) juncto pasal 98 huruf f Undang-Undang No. 7 Tahun 2017: Bawaslu Provinsi bertugas mengawasi seitap tahapan pemilu, khususnya tahapan pencalonan dan berwenang untuk meminta bahan keterangan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengawasan, pencehagan dan penindakan, termasuk meminta/mengakses data/dokumen pencalonan kepada KPU
  • Pasal 101 huruf b ayat (2) junto pasal 103 huruf f Undang-Undang No. Tahun 2017: Bawaslu Kabupaten/Kota bertugas mengawasi seluruh tahapan pemilu khususnya tahapan pencalonann dan berwenang untuk meminta bahan keterangan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pengawasan, pencegahan dan penindakan, termasuk dalam hal ini meminta/mengakses data/dokumen pencalonan kepada KPU Kabupaten/Kota..
  • Pasal 22A Undang-Undang No. 1 Tahun 2015 juncto pasal 22B Undang- Undang 10 Tahun 2016: Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu

 

Kabupaten/Kota bertugas mengawasi penyelenggaran Pilkada dan berwenang untuk melakukan penindakan pelanggaran pilkada yang terjadi.

  • Pasal 28 ayat (1) huruf (a) angka (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2015: Bawaslu bertugas mengawasi setiap tahapan khususnya tahapan pencalonan dan memiliki wewenang melakukan penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa
  • Pasal 30 huruf (a) angka (3) UU 10 Tahun 2016: Bawaslu Kabupaten Kota bertugas mengawasi setiap tahapan penyelenggaraan Pilkada dan memili wewenang melalukan penindakan pelanggaran dan penyelesaian sengketa proses.
  • Peraturan Bawaslu 21 Tahun 2018: Mengatur secara rinci tata cara permintaan data dari penyelenggara pemilu lainnya, termasuk KPU.

 

Ketentuan-ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kabupaten memiliki dasar hukum yang kuat untuk meminta data calon kepala daerah dari KPU dalam rangka pengawasan proses pencalonan.

 

Kewajiban KPU Memberikan Data kepada Bawaslu

Sebagai penyelenggara pemilu, KPU memiliki kewajiban untuk mendukung tugas pengawasan yang dilakukan oleh Bawaslu dan jajarannya. Hal ini ditegaskan dalam beberapa regulasi berikut:

 

  • Pasal 14 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017: KPU wajib memberikan informasi terkait pelaksanaan tahapan pemilu kepada pihak yang berwenang, termasuk
  • Pasal 93 huruf (d) ayat 4 Undang-Undang No. 7 Tahun 2017: Setiap orang, lembaga, atau badan yang diminta keterangan dan/atau dokumen oleh Bawaslu wajib memenuhi permintaan tersebut dalam batas waktu yang ditetapkan, khususnya KPU dan jajarannya diwajibkan melaksanan ketentuan
  • Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2024 perubahan atas Perarutan KPU Nomor 8 tahun 2020 yang mengatur berbagai aspek pencalonan kepala Beberapa pasal penting terkait pencalonan adalah:
    1. Pasal 11: Mengatur persyaratan pencalonan, termasuk pendaftaran pasangan calon oleh partai politik atau gabungan partai
    2. Pasal 13: Membahas dokumen persyaratan yang harus disertakan dalam
    3. Pasal 95: Mengatur kewajiban KPU untuk mengumumkan informasi terkait jadwal dan syarat pencalonan melalui media massa atau laman resmi KPU serta memuat ketentuan mengenai pendaftaran dan pengumuman data pencalonan, yang harus dilakukan secara

KPU diharuskan mengumumkan informasi pencalonan, yang mencakup persyaratan dan dokumen yang harus dipenuhi oleh calon

 

Dalam konteks Pilkada, data calon kepala daerah merupakan informasi yang krusial bagi Bawaslu untuk memastikan bahwa seluruh proses pencalonan berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi, keterbukaan, keadilan, dan kejujuran (Integritas)

 

Penolakan KPU: Data Dikecualikan

KPU berargumen bahwa data calon kepala daerah merupakan informasi yang dikecualikan dari akses publik berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). Pasal 17 UU KIP menyebutkan beberapa jenis informasi yang dapat dikecualikan, antara lain:

  • Informasi yang dapat mengganggu proses penegakan hukum:
  • nformasi yang mengganggu hak privasi

 

Namun, penolakan KPU ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Dalam pemilu, data calon kepala daerah bukan hanya informasi pribadi, melainkan bagian dari proses politik dan demokrasi yang harus diawasi dan dapat dikases oleh Bawaslu. Jika data/dokumen tersebut benar-benar bersifat rahasia atau sensitif, seharusnya KPU menyediakan mekanisme yang jelas untuk memastikan bahwa Bawaslu tetap mengakses dan dapat melakukan pengawasan dengan cara yang tidak melanggar hak privasi atau keamanan data.

 

Kepentingan Publik vs. Hak Privasi

Salah satu isu utama dalam perdebatan ini adalah bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan publik untuk memastikan Pilkada yang transparan dan adil, dengan hak privasi calon kepala daerah. Prinsip utama yang harus dipegang adalah bahwa hak privasi tidak boleh digunakan untuk menghalangi pengawasan publik, terutama jika data yang diminta memang diperlukan untuk menjamin integritas proses Pilkada yang demokratis.

 

Data calon kepala daerah yang mendaftarkan diri sebagai calon dalam Pilkada merupakan pengecualian dari hak pribadi atas perlindungan data pribadi dalam beberapa hal. Hal ini didasarkan pada prinsip kepentingan publik yang lebih besar dalam mewujudkan pemilihan kepala daerah yang demokratis, transparan, dan berintegritas.

 

Beberapa alasan dan dasar hukum yang mendukung pengecualian ini:

  1. Kepentingan Publik yang Lebih Karena pemilihan kepala daerah menyangkut kepentingan publik yang luas, informasi mengenai calon kepala daerah dianggap penting untuk diungkapkan demi transparansi dan partisipasi masyarakat. Informasi yang berkaitan dengan integritas calon, seperti rekam jejak, pendidikan, catatan hukum, dan harta kekayaan, serta kelengkapan dan keabsahan syarat administrasi pencalonan dianggap relevan agar publik dapat melakukan pengawasan dan mengambil keputusan yang cerdas dalam memilih.

 

  1. Kewajiban untuk Pengawasan dan Transparansi: Undang-Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menegaskan pentingnya integritas calon dalam proses demokratis dan
  2. Partisipasi Masyarakat: UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengawasi proses pemilu, termasuk memeriksa dan melaporkan potensi pelanggaran oleh calon kepala Informasi publik tentang calon menjadi alat penting untuk memungkinkan partisipasi ini.
  3. UU Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP): Dalam konteks ini, data calon kepala daerah dapat diklasifikasikan sebagai informasi yang bersifat publik, mengingat pentingnya keterbukaan dan transparansi dalam proses Pilkada. Pasal 17 UU KIP memberikan batasan pada hak privasi, tetapi juga menyatakan bahwa informasi yang berkaitan dengan jabatan publik atau calon pejabat publik dapat dibuka untuk umum karena sifat jabatannya mempengaruhi kepentingan publik secara
  4. UU No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi: Meski demikian, tetap ada batasan terkait data yang bersifat sangat pribadi, seperti data kesehatan atau kehidupan pribadi calon yang tidak relevan dengan kemampuan dan integritas untuk memimpin. Data pribadi yang tidak relevan dengan kompetensi atau integritas calon tetap harus
  5. Peraturan KPU tentang Pencalonan memberikan akses data calon untuk diumumkan

 

Data calon kepala daerah yang berkaitan dengan kualifikasi, rekam jejak, dan integritas dapat dikecualikan dari perlindungan hak privasi, karena menyangkut kepentingan publik yang lebih besar untuk memastikan bahwa calon kepala daerah yang dipilih memiliki integritas dan kapasitas yang memadai. Informasi ini perlu dibuka untuk memungkinkan pengawasan oleh Bawaslu dan partisipasi aktif masyarakat demi tercapainya pemilihan yang demokratis dan berintegritas. Namun, data yang tidak relevan dengan kepentingan publik atau tidak mempengaruhi integritas dan kompetensi calon tetap harus dilindungi sesuai dengan prinsip perlindungan privasi.

 

Bawaslu harus dapat menunjukkan bahwa data yang diminta benar-benar diperlukan untuk menjalankan tugas pengawasan secara efektif. Sebaliknya, KPU juga harus mampu memberikan alasan yang jelas mengapa data tersebut harus dirahasiakan, jika memang ada potensi penyalahgunaan atau dampak negatif lainnya.

Selain daripada itu, penyelenggaraan Pilkada diatur oleh undang-undang yang khusus, maka dengan sendirinya dapat mengenyampingkan aturan-aturan yan umum (lex specialis derogat legi generali), disamping itu terdapat asas-asas hukum yang digunakan untuk menyelesaikan pertentangan atau konflik antar peraturan perundang- undangan, yakni: Asas lex superior derogat legi inferiori dan Asas lex posterior derogat legi priori.

 

Potensi Pelanggaran KPU

Jika KPU tetap menolak memberikan data tanpa alasan hukum yang kuat, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai pelanggaran pemilihan. Berdasarkan Undang- Undang sebagimana telah diuraikan di atas, KPU memiliki kewajiban untuk memberikan data yang diminta oleh Bawaslu, dan penolakan tanpa dasar hukum dapat dianggap sebagai upaya menghalangi proses pengawasan. Hal ini dapat berujung pada langkah hukum, seperti:

 

  1. Laporan Pelanggaran Administrasi Pemilu: Bawaslu dapat melaporkan KPU atas dugaan pelanggaran administrasi
  2. Laporan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
  3. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN): Jika KPU tetap menolak, Bawaslu dapat mengajukan gugatan ke PTUN untuk memaksa KPU memberikan akses terhadap data

 

Solusi yang Mungkin

Kasus Pilkada DKI Jakarta 2017, di mana terdapat perdebatan antara Bawaslu dan KPU mengenai akses data pemilih sebagai contoh empiris (meskipun kasus ini lebih berfokus pada data pemilih, bisa menjadi ilustrasi yang baik tentang bagaimana konflik antara KPU dan Bawaslu atas akses data dapat memicu sengketa antara lembaga tidak terjadi pada penyelenggaran Pilkada serentak 2024.

Beberapa solusi yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa ini antara lain:

  • Mediasi: Bawaslu dan KPU dapat mencoba mencari solusi melalui mediasi untuk menghindari perselisihan yang
  • Putusan DKPP dan/atau Pengadilan: Jika mediasi gagal, solusi hukum dapat ditempuh dengan meminta pengadilan untuk memutuskan apakah KPU berkewajiban memberikan data yang
  • Amandemen Peraturan: Jika terdapat kekosongan hukum terkait akses data pencalonan, perlu dilakukan revisi terhadap regulasi yang ada untuk memberikan kepastian

 

Kesimpulan

  1. Berdasarkan analisis hukum yang ada, Bawaslu memiliki dasar yang kuat untuk meminta data calon kepala daerah dari KPU dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan Pilkada. KPU, di sisi lain, tidak dapat menolak memberikan data tersebut tanpa alasan hukum yang jelas dan proporsional. Jika KPU tetap bersikeras menolak, maka hal tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran pemilu yang dapat ditindaklanjuti melalui langkah
  2. Regulasi yang ada menunjukkan bahwa integritas pemilu dan hak publik untuk memastikan pemilihan yang demokratis harus diutamakan, sementara hak privasi calon kepala daerah yang sifatnya specifik dan tidak relavan untuk

 

dibuka ke publik harus dipertimbangkan dengan hati-hati sesuai konteks pengawasan pemilu.

  1. Hak privasi dalam konteks pemilu memang harus dihormati, namun prinsip keterbukaan informasi adalah elemen krusial yang mendukung demokrasi yang Menurut Warren dan Brandeis (1890), privasi adalah hak fundamental, tetapi dalam konteks politik dan pemilu, keterbukaan informasi yang terkait dengan kepentingan publik jauh lebih penting, sebagaimana diatur dalam UU KIP. Transparansi memungkinkan publik untuk memonitor kandidat dan memastikan bahwa seluruh proses pencalonan berjalan dengan prinsip-prinsip keadilan dan integritas. Transparency International juga menekankan bahwa pemilu yang transparan adalah kunci untuk meminimalisir korupsi dalam proses politik

 

*)Praktisi   Hukum/Advokat/Ketua   Bawaslu   Provinsi                 Kalimantan                    Barat        2013        – 2018/2028 – 2023

 

Referensi bacaan:

  1. Undang-Undang Dasar NRI Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;
  3. UU 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang menjadi Undang-Undang
  4. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
  5. MENGAPA INTEGRITAS PEMILU PENTING Mudiyati Rahmatunnisa Departemen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Padjadjaran, Jurnal Bawaslu ISSN 2443-2539, 3 No. 1 2017, Hal. 1-11;
  6. 3 Asas Hukum: Lex Superior, Lex Specialis, dan Lex Posterior Beserta Contohnya, hukumonline.com, 26 April 2022
  7. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia: Bawaslu vs KPU Sengketa Pilkada DKI Jakarta
  8. Dahl, R. A. (1998). On Democracy. Yale University Press** – untuk menguatkan argumen tentang pentingnya transparansi dalam demokrasi;
  9. Schedler, (2002). *The Menu of Manipulation*. Journal of Democracy** – untuk mendukung pandangan bahwa pengawasan yang efektif dapat mencegah manipulasi dalam pemilu.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *