
Jakarta, lensademokrasi.com — Perhimpunan Pemilih Indonesia (PPI) mengungkapkan keyakinannya bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) akan mengabulkan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua Selatan tahun 2024. Gugatan yang diajukan pada 12 Desember 2024 itu berfokus pada pembatalan Keputusan KPU Provinsi Papua Selatan Nomor 217 Tahun 2024 tentang penetapan hasil pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Selatan, yang diumumkan pada 8 Desember 2024.
Dasar Hukum dan Posisi PPI
Koordinator Nasional PPI, Saparuddin, dalam pernyataannya pada Jumat (27/12/2024) di Jakarta, menjelaskan bahwa gugatan ini telah diajukan dengan dasar hukum yang kuat. PPI sebagai pemantau pemilu memiliki kedudukan hukum untuk menggugat hasil pemilu, sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 3 Tahun 2024 tentang Tatacara Beracara dalam Perkara PHPU Gubernur, Bupati, dan Walikota.
“Kami yakin majelis hakim MK akan mempertimbangkan bukti-bukti yang telah kami ajukan dan mengakui keabsahan serta relevansi gugatan ini,” ujar Saparuddin. Ia menambahkan bahwa PPI telah menyertakan berbagai bukti faktual dan yuridis untuk memperkuat argumen gugatan tersebut.
Pelanggaran Administratif yang Mendasar
Salah satu poin utama dalam gugatan PPI adalah ketidaksesuaian administratif dalam pembentukan Provinsi Papua Selatan. Berdasarkan Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2024 tentang Pemerintahan Daerah, sebuah provinsi baru harus memiliki minimal lima kabupaten/kota. Namun, Papua Selatan hanya memiliki empat kabupaten, yakni Merauke, Mappi, Boven Digoel, dan Asmat.
“Ketidaksesuaian ini membuat Papua Selatan tidak sah sebagai provinsi otonom. Oleh karena itu, hasil Pemilu Gubernur Papua Selatan 2024 juga harus dinyatakan tidak sah secara hukum,” tegas Saparuddin.
Ia juga menyoroti dampak langsung dari ketidaksesuaian ini terhadap hak politik masyarakat. Konfigurasi provinsi yang tidak memenuhi syarat menghalangi kesempatan politik bagi pasangan calon di kabupaten/kota yang seharusnya dibentuk untuk memenuhi syarat administratif.
Masalah Teknis Pemilu
Selain persoalan administratif, PPI mengungkapkan adanya kelemahan serius dalam penyelenggaraan Pemilu Gubernur Papua Selatan 2024. Salah satunya adalah distribusi logistik pemilu yang tidak merata. Banyak TPS tidak menerima kertas suara, yang mengakibatkan ribuan pemilih kehilangan hak suaranya.
“Pengabaian hak-hak pemilih ini mencerminkan kegagalan KPU Papua Selatan dalam menjalankan tugasnya. Ini jelas pelanggaran terhadap prinsip demokrasi,” ujar Saparuddin dengan tegas.
Tuntutan dan Harapan pada MK
Dalam gugatannya, PPI meminta MK untuk membatalkan Keputusan KPU Papua Selatan Nomor 217 Tahun 2024 dan memerintahkan pemilu ulang setelah Papua Selatan memenuhi syarat administratif sebagai provinsi dengan lima kabupaten/kota.
Saparuddin yang juga mantan Tenaga Ahli Bawaslu RI ini optimistis bahwa MK akan memutuskan perkara ini secara adil berdasarkan fakta dan hukum yang ada. “Kami percaya MK akan mengambil langkah yang tepat untuk memperbaiki proses demokrasi di Papua Selatan,” katanya.
Dampak Strategis
Gugatan ini menjadi ujian penting bagi sistem demokrasi di Indonesia. Jika MK mengabulkan gugatan ini, keputusan tersebut akan memberikan preseden kuat tentang pentingnya pemenuhan syarat administratif dan teknis dalam penyelenggaraan pemilu.
PPI berharap, melalui gugatan ini, demokrasi di Papua Selatan dapat diperbaiki secara fundamental, memastikan pemilu yang jujur, adil, dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. “Ini bukan sekadar soal hasil pemilu, tetapi tentang menegakkan keadilan dan hak politik seluruh warga negara,” pungkas Saparuddin. ***
penulis/editor : raihan khalidah