
Jakarta, lensademokrasi.com – Badan Akuntabilitas Publik (BAP) DPD RI mengingatkan pemerintah untuk tidak lagi bersikap pasif terhadap berbagai konflik agraria dan ketenagakerjaan yang terus menumpuk dan belum kunjung diselesaikan. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/5/2025), BAP DPD RI memanggil sejumlah pihak terkait, termasuk Kanwil BPN Sumatera Selatan, SKK Migas, perwakilan PT Musi Hutan Persada, serta sejumlah kementerian dan pemerintah daerah.
Ketua BAP DPD RI, Abdul Hakim, menyebut ketidaktegasan negara dalam menangani sengketa ini sebagai ancaman terhadap stabilitas sosial dan kepercayaan publik. “Kementerian, lembaga, dan pemda tidak cukup hanya bersikap reaktif. Mereka harus aktif memantau situasi dan segera menyusun langkah-langkah penyelesaian yang konkret,” ujarnya didampingi Wakil Ketua BAP DPD RI, Ahmad Syauqi.
Salah satu kasus yang mengemuka adalah dugaan perampasan lahan kebun milik warga Desa Gedung Agung dan Arahan, Kecamatan Merapi Timur, Kabupaten Lahat, oleh PT Musi Hutan Persada. Kasus lainnya, menyangkut tuntutan ganti rugi 42 hektar tanah adat milik Marga Malibela di Papua Barat yang telah dikuasai Batalyon TNI AD sejak 1980 tanpa kompensasi.
“Tanah adalah identitas dan harga diri masyarakat adat. Negara tidak boleh abai terhadap hak dasar ini,” tegas Abdul Hakim.
Persoalan ketenagakerjaan pun tak luput dari sorotan. Mantan karyawan Petrochina International Ltd dan Petrogas Ltd mengadukan perlakuan diskriminatif dan tidak adil yang mereka alami saat bekerja di terminal minyak Kasim, Papua Barat Daya. Mereka merasa diabaikan, meski telah lama berkontribusi di sektor energi strategis.
Abdul Hakim menilai meningkatnya aduan masyarakat mencerminkan rapuhnya sistem perlindungan hukum dan ketidakseriusan pemerintah menindaklanjuti laporan. “Masalahnya bukan hanya soal kebijakan yang tumpang tindih, tetapi juga lemahnya koordinasi antar-instansi dan kecenderungan elit eksekutif untuk mengabaikan realitas di lapangan,” tegasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua BAP DPD RI, Ahmad Syauqi, menyoroti mekanisme penyelesaian sengketa hibah tanah yang terlalu berbelit. Ia menilai cukup diselesaikan di level daerah antara pemberi hibah, pemerintah daerah, dan kantor pertanahan. “Tak perlu dibawa ke pusat jika akar masalah bisa diselesaikan secara lokal. Kita butuh birokrasi yang gesit, bukan berbelit,” tandasnya.
RDP ini menunjukkan komitmen BAP DPD RI untuk tidak hanya mendengar, tetapi mendorong aksi nyata. Sengketa yang tak kunjung tuntas bukan hanya soal ketidakadilan, tetapi juga potensi ledakan sosial yang bisa mengganggu pembangunan dan kepercayaan publik terhadap negara. *** (fatoni/sap)