
Jakarta, lensademokrasi.com — Tumpukan sampah yang terus menggunung di berbagai kota kini menjadi bom waktu ekologis. Meski sudah ada program, fasilitas, dan himbauan, persoalan sampah tetap tak kunjung tertangani dengan sistematis. Dalam situasi yang makin mendesak ini, Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI mendesak pemerintah untuk segera membenahi regulasi pengelolaan sampah yang selama ini dinilai tambal sulam dan tidak berpihak kepada pelaku di lapangan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang digelar di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/5/2025), Wakil Ketua BULD DPD RI, Agita Nurfianti, menegaskan, regulasi pengelolaan sampah, baik di tingkat pusat maupun daerah, harus segera diperkuat dengan pendekatan yang konkret dan implementatif.
“Persoalan sampah tidak bisa diselesaikan secara sektoral dan sesaat. Diperlukan Perda atau Ranperda yang berpijak pada realitas lokal, tidak kaku, dan bisa dijalankan tanpa membebani pelaksana di lapangan,” ujar Agita, menyoroti lemahnya daya pakai kebijakan yang sudah ada.
Seiring meningkatnya urbanisasi dan pertumbuhan konsumsi, volume sampah melonjak tajam. Namun, sistem pengelolaan tidak bertransformasi dengan kecepatan yang sama. Akibatnya, tumpukan sampah bukan hanya merusak estetika, tetapi juga menjadi sumber penyakit dan bencana ekologis, seperti banjir dan pencemaran air tanah.
Ketua Umum Indonesia Solid Waste Association (InSWA), Guntur Sitorus, menambahkan, tantangan utama bukan hanya pada infrastruktur, tetapi juga pada pola pikir masyarakat. “Banyak orang masih menganggap bahwa membuang sampah sejauh mungkin dari rumahnya sudah cukup. Mentalitas buang masalah ini yang merusak lingkungan,” tegas Guntur.
Ia menyoroti pentingnya edukasi yang sistematis dan masif—bukan hanya kampanye sesekali. “Edukasi harus masuk kurikulum sekolah, menjadi bagian dari pelatihan komunitas, dan disebarluaskan lewat media massa. Tanpa itu, kita hanya memutar lingkaran masalah,” tambahnya.
Lebih jauh, ia juga mengkritisi lambannya perkembangan industri daur ulang di Indonesia. “Daur ulang itu ada, tapi hasilnya tak laku dijual karena terhambat izin dan harga beli dari industri yang tidak menguntungkan. TPS3R dan bank sampah banyak, tapi tidak didukung oleh ekosistem yang sehat,” ungkap Guntur.
Contoh praktik baik disampaikan oleh Achmad Husein, mantan Bupati Banyumas yang dikenal sebagai “Bapak Sampah Nasional”. Dalam keterbatasan tanpa TPA sejak 2020, Banyumas mampu menciptakan sistem pengolahan mandiri yang menghasilkan minyak prolysis dari sampah, dengan margin keuntungan yang signifikan. Sayangnya, ketika inovasi seperti paving block dari limbah plastik muncul, regulasi justru menjadi penghambat.
“Produk sudah siap, teknologinya ada, pasar potensial. Tapi semua itu kandas karena perizinan yang tidak adaptif. Ini ironi birokrasi: solusi yang ada justru dimatikan oleh sistem yang tidak mendukung,” kata Husein dengan nada tajam.
Senada dengan itu, Akhmad Zainal Abidin, pakar polimer dari ITB, menawarkan pendekatan saintifik berbasis teknologi tepat guna. Dengan metode Depolimerisasi Ippo Masaro dan Komposting Masaro, sampah organik bisa diubah menjadi pupuk cair dan kompos dalam hitungan hari, tanpa menimbulkan bau dan tanpa harus menumpuk di TPA.
“Inovasi bukan lagi soal kemampuan. Kita sudah punya. Tapi negara belum sepenuhnya hadir dalam mendukung, mengarahkan, dan menyinergikan. Kalau regulasi dan political will serius, persoalan sampah bisa selesai,” tandas Zainal.
Wakil Ketua BULD DPD RI menyimpulkan, sampah bukan semata soal teknis, melainkan indikator kegagalan sistemik dalam tata kelola dan kebijakan publik. “Sudah saatnya sampah tidak hanya dibebankan pada pemerintah daerah. Pemerintah pusat harus hadir, mengintegrasikan regulasi, membangun kesadaran kolektif, dan membuka ruang bagi inovasi yang berpihak pada rakyat,” tutup Agita.
Jika tak segera dibenahi, sampah akan terus menjadi luka menganga di wajah pembangunan kita—tak hanya mengotori lingkungan, tetapi juga mencerminkan ketidakmampuan negara menyelesaikan masalah dasar warganya. *** (fatoni/sap)