
Padang, lensademokrasi.com — Komite IV Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menggelar Focus Group Discussion (FGD) Pra-APBN 2026 di Padang, Sumatera Barat, sebagai bagian dari kunjungan kerja yang sarat makna: menelisik lebih dalam ketimpangan pembangunan daerah dan memastikan suara daerah terserap dalam kebijakan fiskal nasional.
Diskusi ini fokus pada dua dokumen strategi negara: Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan Kerangka Ekonomi Makro serta Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) tahun 2026. Dua dokumen yang menjadi penentu arah belanja dan prioritas pembangunan nasional ini diukur harus terhubung erat dengan kebutuhan nyata daerah.
Koordinator Tim Kunjungan Kerja, Cerint Iralloza yang juga Senator asal Sumatera Barat, menekankan pentingnya forum ini sebagai media untuk menyampaikan realita lapangan ke tingkat pusat. “DPD RI tidak hanya sekedar menjalankan fungsi formal. Kami ingin memastikan bahwa kebijakan nasional berpijak pada fakta lokal dan tidak menciptakan ketimpangan baru,” ujarnya.
Wakil Ketua Komite IV DPD RI, Novita Anakotta, menambahkan, sinergi antara RKP dan KEM-PPKF merupakan kunci pemerataan pembangunan. “Tanpa arah yang jelas dari RKP dan dukungan fiskal yang seimbang dari KEM-PPKF, maka pembangunan hanya akan menampilkan daerah-daerah yang kuat, dan memperlebar jurang ketimpangan,” tegas senator asal Maluku itu.
Dari sisi Pemprov Sumbar, Asisten II Arry Yuswandi menjelaskan delapan prioritas pembangunan daerah yang telah disusun berdasarkan Asta Cita RPJMN. Di antaranya pendidikan dan kesehatan yang merata, penguatan ekonomi hijau, pengembangan desa dan nagari, serta peningkatan daya saing pariwisata dan ekonomi kreatif.
Namun data berbicara lain. Kepala Bappeda Sumbar, Medi Iswandi, menyampaikan, meski rasio gini provinsi ini tergolong rendah secara nasional (0,287), tantangan struktural masih membayangi. “IPM kita tinggi, kemiskinan menurun. Tapi kesempatan kerja, distribusinya masih belum merata,” ujarnya.
Hal itu diperkuat oleh ekonom Universitas Andalas, Dr. Fajri Muharja. Ia menyebut Sumatera Barat sebagai salah satu provinsi dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Pulau Sumatera. Kota Padang disebut sebagai penyumbang utama. “Ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi belum sepenuhnya mampu menyerap tenaga kerja berpendidikan tinggi,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Hamdani dari Fakultas Ekonomi Unand mengingatkan soal ketimpangan fiskal, baik vertikal antara pusat dan daerah, maupun horizontal antar provinsi. Ia menekankan, desain alokasi dana transfer daerah belum sepenuhnya menjawab kebutuhan riil dan keadilan fiskal.
Masukan lainnya datang dari kalangan akademisi yang meminta pemerintah memberikan perhatian lebih kepada Perguruan Tinggi Swasta (PTS) — menghasilkan lebih dari 60% lulusan sarjana Indonesia — serta mendukung penelitian dan proyek UMKM kampus sebagai penopang ekonomi daerah yang lebih inklusif.
Menanggapi seluruh masukan, Novita Anakotta menegaskan, Komite IV DPD RI akan membawa semua temuan ini ke rapat-rapat pembahasan bersama pemerintah pusat. “Kita tidak bisa membangun dari atas saja. Pemerataan hanya bisa dicapai jika kita mendengar dari bawah,” tutupnya. *** (fatoni/sap)