
Jakarta, lensademokrasi.com — Target ambisius pertumbuhan ekonomi 8% yang dicanangkan dalam RPJMN 2025–2029 kembali diuji lewat forum strategis yang digelar Komite IV DPD RI. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang berlangsung di Gedung DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (22/04/2025), dua lembaga think tank nasional — Center of Economics and Law Studies (CELIOS) dan The Indonesia Economic Intelligence (IEI) — memberikan pandangan kritis dan solusi konkret untuk menjawab tantangan ekonomi Indonesia ke depan.
Ketua Komite IV, Ahmad Nawardi, membuka forum dengan menegaskan pentingnya penguatan fungsi pengawasan fiskal DPD RI, khususnya dalam menyusun pertimbangan terhadap Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) untuk RAPBN 2026. Menurutnya, kebijakan fiskal yang presisi dan berbasis data sangat krusial agar pertumbuhan ekonomi tidak hanya menjadi slogan, tetapi agenda yang terwujud.
Direktur Eksekutif CELIOS, Media Wahyudi Askar, memaparkan, perekonomian Indonesia berada di persimpangan genting. Kebijakan tarif resiprokal dari Amerika Serikat diperkirakan bisa memangkas Produk Domestik Bruto (PDB) hingga Rp 45 triliun. Ancaman eksternal ini diperparah oleh lemahnya daya beli masyarakat dan menyusutnya kelas menengah, yang selama ini menjadi motor penggerak konsumsi.
Media Wahyudi menekankan pentingnya reposisi belanja negara agar lebih berpihak pada sektor rumah tangga, ekonomi riil, dan UMKM. Ia menyebut, tanpa keberpihakan yang nyata, ketahanan ekonomi akan terus rapuh di tengah gejolak global.
Sementara itu, Chief Economist IEI, Sunarsip, menyoroti jarak lebar antara ambisi pertumbuhan dan kenyataan di lapangan. Belajar dari pengalaman India dan Tiongkok, menurutnya Indonesia butuh reformasi fiskal yang tidak setengah hati.
Menurut Sunarsip, efisiensi belanja negara, penguatan tabungan domestik, serta pembenahan struktur subsidi dan Penyertaan Modal Negara (PMN) menjadi kunci agar pertumbuhan tidak hanya dikejar angka, tetapi juga berdampak jangka panjang.
Ia mengkritik beberapa program nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan hilirisasi industri yang dinilai belum menyentuh akar persoalan, serta minim efek pengganda terhadap ekonomi lokal. “Jangan hanya mengejar program populis. Yang dibutuhkan adalah dampak riil ke masyarakat,” tegasnya.
Dari RDPU tersebut, Komite IV DPD RI menyimpulkan lima langkah strategis sebagai fondasi kebijakan fiskal 2026. Pertama, reformasi Fiskal Tak Bisa Ditunda – APBN harus fokus pada belanja produktif yang berdampak langsung terhadap kesejahteraan rakyat, bukan hanya tambal-sulam utang.
Kedua, hilirisasi Perlu Arah Baru – Kebijakan ini harus benar-benar menyerap teknologi, membuka akses pasar, dan melibatkan UMKM secara aktif dalam rantai nilai.
Ketiga, waspadai Dampak Tarif Ekspor AS – Strategi dagang Indonesia harus lebih agresif dalam diplomasi dan segera memperluas diversifikasi pasar.
Keempat, program MBG Wajib Pro-UMKM – Skema pengadaan dan distribusi program ini harus berpihak pada pelaku usaha lokal agar tercipta efek pengganda ekonomi daerah.
Kelima, perkuat Basis Ekonomi Domestik – Investasi inklusif dan optimalisasi pasar modal domestik menjadi kunci memperkuat fondasi ekonomi dari dalam.
Seluruh hasil dan masukan dalam RDPU ini akan dirumuskan menjadi bagian dari rekomendasi resmi Komite IV DPD RI kepada pemerintah pusat, sebagai masukan penting dalam penyusunan RAPBN Tahun Anggaran 2026. *** (fatoni/sap)