
Jakarta, lensademokrasi.com – Gelombang PHK massal di industri media bukan hanya masalah ekonomi, tapi juga ancaman serius terhadap demokrasi. Hal ini ditegaskan oleh Anggota DPD RI asal DIY, Dr. H. Hilmy Muhammad, M.A., yang menyebut krisis ini sebagai sinyal bahaya yang tak boleh diabaikan.
“Ketika pekerja media kehilangan ruang, sesungguhnya yang ikut hilang adalah suara publik yang merdeka. Ini alarm keras bagi demokrasi kita,” kata Gus Hilmy dalam pernyataan tertulis, Ahad (4/5/2025).
Sebagai anggota Komite II DPD RI dan tokoh Nahdlatul Ulama, Gus Hilmy menyoroti bagaimana tekanan ekonomi global dan peralihan cepat ke era digital membuat banyak media terpuruk. Namun menurutnya, kesalahan terbesar adalah jika negara bersikap pasif.
“Media bukan sekadar sektor usaha. Ia adalah pilar keempat demokrasi. Kalau media lumpuh, maka ruang publik kehilangan penyeimbang kekuasaan,” ujarnya tegas.
Ia mendorong pemerintah untuk tidak hanya melihat media sebagai entitas bisnis biasa, melainkan sebagai infrastruktur demokrasi yang harus dijaga. Gus Hilmy mengusulkan insentif fiskal seperti penghapusan pajak, alokasi iklan layanan masyarakat secara adil, dan program digitalisasi untuk media kecil dan daerah.
“Pemerintah wajib turun tangan. Bukan hanya karena media menciptakan lapangan kerja, tapi karena mereka menjaga hak publik atas informasi yang jujur dan berimbang,” tambahnya.
Lebih jauh, Gus Hilmy juga mengajak pelaku media untuk berinovasi dan mandiri. Diversifikasi bisnis serta kolaborasi lintas sektor—dengan komunitas, pesantren, kampus, hingga UMKM—menurutnya dapat membangun ekosistem konten yang sehat dan produktif.
“Media harus jadi mitra masyarakat, bukan sekadar pengejar trafik atau penggandeng kekuasaan. Jika hanya mengandalkan iklan, mereka rentan. Maka perlu model bisnis baru yang lebih kokoh,” tuturnya.
Menjelang tahun politik, Gus Hilmy mengingatkan bahwa independensi media akan sangat diuji. Ia mengajak pers untuk tetap kritis, berani menyuarakan isu-isu penting seperti revisi UU TNI, proyek food estate, hingga Danantara, tanpa takut kehilangan ruang atau pengaruh.
“Pers jangan hanya jadi stempel kebijakan. Demokrasi butuh media yang mencerdaskan, bukan membungkam. Keberanian itulah yang akan dihargai publik,” pungkasnya. *** (fatoni/sap)